JAKARTA: Sebanyak lebih dari 20 orang hadir dalam satu pertemuan daring untuk berbagi cerita tentang betapa terguncangnya mereka ketika orang-orang yang mereka sayangi meninggal dunia, juga tentang pilu yang menyertai rasa kehilangan itu.
Satu per satu, mereka bicara tentang anak, pasangan hidup, orang tua, atau saudara; ada yang telah bertahun-tahun berkalang tanah, ada pula yang baru tutup usia beberapa pekan lamanya.
Pada sesi Grief Talk tanggal 19 Januari itu, seorang perempuan muda menyampaikan gundahnya. Belum lama ini, ia wisuda tanpa kehadiran sang ayah yang telah lama tiada. Ada pula wanita yang bicara tentang rasa bersalahnya karena kerap tak sabar menghadapi putranya yang menyandang autisme, sebelum bocah itu meninggal dunia.
Satu perempuan lain menangis tersedu-sedu usai berkisah tentang mendiang ibunya yang wafat selang beberapa hari sebelum ia menempuh ujian akhir sekolah. Diliputi lara, ia mematikan sambungan videonya karena tak lagi sanggup berkata-kata.
Pendiri Grief Talk, Nirasha Darusman, yang selalu hadir memandu sesi demi sesi daring yang diadakan oleh grup dukungan ini, mendengarkan tiap cerita secara saksama.
Berusia 44 tahun, ibu dua anak ini kadang ikut meneteskan air mata. Kisah-kisah yang disampaikan terasa dekat, sebab ia telah kehilangan dua saudara kandung dan kedua orangtuanya dalam kurun waktu tujuh tahun.
Banyak peserta yang memiliki pengalaman serupa, dan mereka siap membangkitkan semangat lewat kata-kata menggugah di kolom percakapan tiap kali salah satu dari mereka sedang berbicara dalam sesi Grief Talk.
Nirasha menggagas kelompok dukungan ini pada bulan Desember 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda dan jumlah korban jiwa terus meningkat.
“Dunia terasa sempit. Orang-orang meninggal. Saat itulah keinginan untuk membantu orang lain muncul kembali,” ujar Nirasha kepada CNA. Ia menambahkan, idenya untuk membentuk kelompok dukungan di Indonesia bagi mereka yang sedang berduka telah terpikirkan sejak 2018.
Dalam dua tahun, ratusan orang telah menghadiri sesi daring Grief Talk yang kini dilakukan tiap dua pekan, dihadiri hingga puluhan peserta per pertemuan.
Kelompok dukungan ini menggelar kopi darat pertamanya Desember lalu, dan berencana untuk mengadakannya secara lebih teratur seiring meredanya pandemi.
BERMULA DARI KEBUTUHAN PRIBADI
Grup dukungan ini telah mempertemukan banyak orang yang tadinya memendam duka bertahun-tahun lamanya, sebagaimana halnya Nirasha.
Pada tahun 2007, ia kehilangan adik laki-lakinya yang mengidap HIV. Dua tahun kemudian, ayahnya meninggal dunia setelah sekian lama berjuang melawan bronkitis. Nirasha lantas kehilangan abangnya pada tahun 2013 akibat leukemia yang terlambat didiagnosis. Tak sampai tujuh bulan berselang, ibunya wafat pada tahun 2014 setelah mengalami serangkaian stroke sejak 2001.
Pun demikian, Nirasha tak sempat benar-benar mencerna semua kehilangan itu. Ia merasa tak seorang pun memahami apa yang ia alami. Orang-orang sekitar justru mendorongnya untuk terus tegar, mengikhlaskan mereka yang telah berpulang agar ia dapat melanjutkan keseharian apa adanya.
“Berat. Berat sekali. Saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi (semua kehilangan) itu,” ungkap Nirasha.
Posted By : togel hongkon